“Aku adalah wanita yang terperangkap dalam tubuh laki-laki.”
Leon Shermer, Dog Day Afternoon
Posisinya
adalah pemain bertahan. Tugasnya, menyapu bola yang datang mendekati gawang.
Banyak orang ragu ketika melihat perawakan juga wajahnya. Rambut ikalnya dibiarkan memanjang. Apalagi gerakannya
yang seperti perempuan.
Namun
yang terjadi di lapangan, dia tampil sempurna. Di luar tugasnya, sebagai pemain
bertahan dia berhasil memberikan umpan yang berbuah gol. Menjelang usai pertandingan,
dia melakukan penyelamatan gemilang, membuang bola jauh-jauh dari gawang. Skor
pun berakhir dengan angka bagus: 2-1 untuk tuan rumah.
Skor
akhir ini adalah sejarah bagi Samoa Amerika. Untuk pertama kalinya, tim Samoa
Amerika berhasil merebut poin 3. Kemenangan atas Tonga, dalam babak penyisihan
kualifikasi Piala Dunia 2014, adalah yang pertama sejak tim nasional ini.
Sejarah
sepak bola negeri yang terdiri dari tiga buah pulau ini, sangat memprihatinkan.
Negeri ini mulai bergabung dengan FIFA di kawasan Oseania pada 1994.
Namun,
tiga puluh bertanding, tak satu pun angka mereka peroleh. Skornya pun
gede-gede. Total selisih gol yang mereka punya adalah 229 kebobolan dan memasukkan 12 gol.
Ingat
dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2002, saat mereka dibantai Australia
dengan skor 31-0. Skor itu masih menjadi rekor kekalahan terbesar yang ada di
dunia sampai saat ini. Archie Thompson menjadi pemain paling doyan bikin gol
hingga 13 kali.
Sebenarnya
masih ada satu gol lagi, kemudian dianulir. Sebabnya, si pemasang papan skor elektronik di stadion di Coffs
Harbour, itu tidak persis ingat dengan rentetan gol yang dibuat tim Australia.
Setelah dihitung lagi, eh kelebihan. Alhasil, satu gol didiskon.
Masih ada
sejarah baru. Dalam pertandingan itu pula, untuk pertama kalinya, seorang
pemain transgender bermain sepak bola dalam babak kualifikasi Piala Dunia.
Dia
adalah Jonny Saelua. Secara biologis dia adalah seorang lelaki namun dia merasa
dirinya adalah wanita. Mungkin persis seperti yang dikatakan Leon Shermer dalam film Dog Day Afternoon, “Aku adalah wanita yang terperangkap dalam tubuh
laki-laki.”
Di Samoa
Amerika, orang seperti Jonny tidaklah sendirian. Mereka, lelaki yang seperti
perempuan atau waria, di negeri ini digolongkan sebagai fa’afafine yang artinya
menjadi wanita.
Orang seperti ini dalam KTP-nya disebut kelamin ke tiga. Kultur negeri itu
menerima kaum ini. Samoa Amerika adalah
negara kecil di Lautan Pasifik yang merupakan kumpulan dari pulau-pulau kecil.
Mayoritas penduduknya merupakan ras Polynesia.
Menurut
Alex Su’a, 30 tahun, yang menjadi ketua kelompok fa’afifine Samoa, setidaknya
ada sekitar 1,500 orang di Samoa dan Samoa Amerika. Di Samoa, fa’afafine sangat dipercaya. Mereka
bisa melakukan pekerjaan laki-laki atau perempuan.
“Menjadi
fa’afafine, hanya untuk orang Samoa, yang lahir sebagai lelaki namun merasa
dirinya adalah seorang wanita. Secara seksual tertarik pada lelaki dan yang
paling penting, dia harus bangga dipanggil dan dilabeli sebagai fa’afafine,”
kata Su’a.
Secara
kultural, kaum fa’afafine diterima di Samoa. “Mereka memiliki peran dalam
masyarakat Samoa. Mereka layaknya seperti seorang kakak. Saudara perempuan atau
lelakinya menikah, mereka tidak.”
Nah,
masuknya Jonni dalam ini menjadi anomali
dalam sepak bola dunia yang sampai kini masih dibelit dengan masalah rasisme.
Sedangkan di Samoa, tak ada penolakan terhadap kaum transgender.
***
Perubahan
besar dalam sepak bola Samoa Amerika ini terjadi setelah Thomas Rongen — yang pernah membawa pasukan
Amerika Serikat tampil dalam tiga kali babak final Piala Dunia U-20 dan berhasil membawa D.C. United juara MLS
pada 1999 — diangkat menjadi pelatih Samoa Amerika, tiga pekan silam,
memasukkan Saelua sebagai pemain inti.
''Orang
ini datang dengan keinginan mengobati luka. Dia sangat terganggu dengan
kekalahan 31-0 itu. Dia ingin mengobati luka itu,” kata Nick Salapu, kiper
timnas Samoa Amerika berkomentar tentang pelatihnya itu.
Keputusan
yang sulit. Bukan apa-apa, bagi kebanyakan orang Samoa, kehadiran para
fa’afafine sering kali mengundang tawa dan ledekan. Meskipun Saelua bukanlah
orang baru dalam sepak bola.
Saelua
mulai bermain sepak bola pada usia 11 tahun. Masuk usia remaja, pada usia 14,
dia mulai menunjukkan bakatnya sehingga dia digaet menjadi pemain nasional
Samoa Amerika.
“Saya
baca di sebuah tempat, saya mencetak sebuah rekor. Namun, saya hanya seorang
pemain cadangan dan saya harus kembali ke sekolah.” Saat itu tidak pernah turun
lapangan, bahkan untuk sekadar bermain untuk 10 menit, seperti permintaannya
pada pelatihnya.
Belakangan
ketimbang bermain sepak bola, dia punya mimpi untuk menunjukkan kemampuannya
sebagai penari. Berkeliling dunia menari modern jazz atau balet.
Namun
siang itu, dia tampil dengan kostum sepak bola dan membela negaranya, Samoa
Amerika – negara yang terletak di Lautan Pasifik. “Saya masuk tim dan bermain sebagai pemain
sepak bola bukan sebagai waria, bukan sebagai lelaki, dan juga perempuan. Hanya
sebagai pemain sepak bola.”
Dukungan
datang dari kawan-kawan satu tim. “Tentu saja sulit bagi mereka. Namun,
bagaimana pun ini hidup mereka. Dia telah menjadi bagian kami.”
Saelua
pun akhirnya merasa nyaman. “Mereka tidak memperlakukan saya dengan berbeda.
Mereka memang membutuhkan saya dalam tim ini. Itulah sebabnya saya selalu
memberikan yang terbaik.”
Kepercayaan
itu dibayar tuntas. Kemenangan atas
Tonga dan hasil draw melawan Cook Island menyenangkan Thomas Rongen. “Saya
menyembuhkan, Saya mengobatinya. Tak ada lagi luka di sini,” kata Rongen. Luka
kekalahan 31-0 kini memang telah terobati.
Pengalaman
menangani Samoa Amerika sangat mengesankan pelatih asal Belanda itu. ''Ini
mengingatkan pada akar saya di Belanda, ketika mereka bermain bola bukan untuk
uang. Sekarang kita tidak melihat itu lagi,” kata Rongen.
Sedangkan
bagi Jonny Saulea, kehadirannya di lapangan dapat menjadi inspirasi bagi
kebanyakan orang. Tidak hanya transgender saja tapi siapa pun yang dianggap
berbeda dalam tatanan masyarakat. “Jika
sesuatu yang kita cintai, lakukan saja, dan jangan sampai orang lain
menghalangi mimpimu.”
No comments:
Post a Comment