SIAPA pun pasti mengangguk. Di sinilah, salah satu surga dunia berada. Saat bangun di pagi hari, matahari di sebelah timur memancarkan kehangatan. Bunyi ombak yang menderu pelan dan semilir angin terasa segar, menyapa setiap kali pagi datang. Rata-rata suhu udara di sini, berkisar 29 derajat Celsius. Tidak panas, namun terasa hangat. Sungguh bak berada di surga.
Kepulauan Turks dan Caicos merupakan bagian dari Inggris yang terdiri dari 40 kepulauan -- 8 di antaranya tak berpenghuni, di Karibia. Luas wilayahnya hanya 166 mil persegi. Jumlah penduduk keseluruhan mencapai 30 ribu orang.
Terletak sekitar 550 mil dari Miami, pulau-pulau di sini memang indah. Tiap tahunnya, lebih dari 200 ribu turis datang ke sana untuk berlibur. Kabarnya, dalam beberapa tahun terakhir, bintang Hollywood Bruce Willis dan pemain sepak bola Manchester United, Rio Ferdinand punya lahan di sana.
Di sana pula, Matthew Green – seorang lelaki Inggris berumur 41 tahun, sejak beberapa tahun lalu tinggal di sana. Rumahnya yang memiliki dua kamar dikelilingi oleh lahan terbuka yang ditumbuhi berbagai pepohonan. Tak jauh dari rumahnya tampak bukit dan danau yang indah. Green bisa menikmati pemandangan itu dari balkon di rumahnya.
Namun, ternyata semua itu bukanlah surga buat dia. Bukan karena dia telah terlalu terbiasa menikmati keindahan itu setiap hari, hingga merasakan semua itu menjadi biasa saja. “Semua orang berpikir enak-enakan duduk di pantai sambil minum pina coladas,” kata Green. “Saya juga kepinginnya begitu tapi di sini banyak pekerjaan yang harus saya lakukan,” katanya pada wartawan BBC, Andy Cryer -- yang menemuinya.
Di pulau ini, Green bekerja sebagai Direktur Teknik pada Federasi Sepak Bola Kepulauan Turks dan Caicos. Namun, tugas Green tidaklah mudah. Kepulauan Turk dan Caico merupakan salah satu penghuni ranking terbawah FIFA. Bersama Bhutan – yang hanya mampu menang 3 kali dari 40 kali bertanding, dan San Marino – yang bermain sebanyak 118 kali dan hanya menang satu kali, negeri ini mondok di urutan ke-207. Alias juru kunci.
Mereka persis di bawah negara-negara seperti Sudan Selatan – negeri yang baru terbentuk dan Macau yang duduk di peringkat 204 dan 205. Tepat di atas mereka adalah negeri yang bernama Anguilla.
Federasi sepak bola di pulau ini terbentuk pada 1996. Dua tahun kemudian diterima sebagai anggota FIFA. Meskipun sebenarnya mereka tidak memiliki lapangan, liga dan harus menunggu sampai sepuluh tahun kemudian untuk memenangi sebuah pertandingan melawan Kepulauan Cayman di kejuaraan Piala Karibia.
“Setiap saya pulang kampung ke Hull, orang-orang di sana – saudara atau teman, selalu mengolok-olok tim ini. Saya menganggapnya sebagai lelucon saja. Tapi kemudian saya merasakan sebuah kebanggaan bila tim ini memiliki ranking yang lebih baik,” katanya.
Kemenangan yang mereka peroleh sudah lama sekali, yakni pada 2008 saat mereka mengalahkan St Lucia. Tidak hanya sebenarnya, tim asuhan Green juga sempat absen bertanding selama dua tahun. Sebabnya? Mereka kekurangan pemain. Maklumlah pasukan Green terdiri dari para pegawai. Ada yang bekerja sebagai polisi, pengacara, guru, dan pekerja bangunan.
Lagi pula, Matthew Green bukanlah pelatih hebat. Pengalamannya mengelola sebuah tim terjadi ketika pegang klub amatir di kampung halamannya, Hull. Sebelumnya, Green memang pernah menjadi pemain Hull junior. Namun tepat pada usia 15 tahun, kontraknya diputus. Dia pun kehilangan kesempatan menjadi pemain profesional. Hanya kecintaannya pada sepak bola yang membuatnya tetap mencoba peruntungan lain.
Namun karirnya memang bukan lapangan melainkan di kelas. Pada 1998 dia pun tiba di Bahama dan mencari pekerjaan sebagai guru. Nasibnya baik. Dia diterima di SMA di sana. Ternyata sekolah itu menjadi salah satu kawah candradimuka sepak bola di sana. Mereka memiliki tim yang lengkap. Malah tim perempuannya pernah menjadi juara nasional dari 2001 hingga 2007. Saat itulah jalannya untuk menjadi pelatih sepak bola pun terbuka.
Hampir bersamaan, dia juga tercatat sebagai pemain di Grasshoppers FC. Prestasinya hebat. Pada 2000-2001, dia menjadi pencetak gol terbanyak di klub itu. Hidupnya berubah, setelah dia membaca sebuah iklan yang dipasang oleh Federasi Sepak Bola di sana, pada 2007. Saat itu, federasi tengah mencari tenaga Direktur Teknik. Pengalamannya – ternyata dirasa cukup memenuhi kualifikasi itu.
Dia pun terpilih. “Kami pernah memenangi gelar juara di Liga Minggu. Tapi menangani sebuah timnas pasti berbeda," katanya.
Tugas Green memang bejibun. Sebagai Direktur Teknik, dia bertanggung jawab terhadap banyak hal membentuk timnas pria dan wanita, menyiapkan tim junior, bahkan juga mengajar teknik pelatihan dan wasit.
Rumitnya lagi, Kepulauan itu hanya punya enam klub amatir. Lebih ruwet, kebanyakan pemainnya merupakan kaum ekspatriat. Total pemain yang bisa diambil tak lebih dari 25 pemain saja.
Sebenarnya, menurut Green mereka punya banyak pemain muda dengan bakat yang lumayan. Namun kebanyakan mereka tengah belajar -- dengan mendapatkan bea siswa, di Amerika Serikat dan Inggris. Sehingga mereka sulit dipanggil pulang untuk bermain atau berlatih.
Satu pemain profesional yang mereka miliki adalah Gavin Glinton, 34 tahun, yang bermain untuk klub Mikado Nam Dinhis -- divisi dua Vietnam. Dia juga merupakan pemain paling subur yang telah mencetak 4 gol dalam 8 pertandingan internasional.
Optimisme kini membalut Green. Tim ini memang tidak pernah bertanding sejak mereka kalah dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2014. Mereka tersingkir setelah kalah secara agregat 10-0 dari Bahama.
Namun kini, menurutnya, tim mereka tengah berupaya bangkit. Saat ini, federasi telah memiliki sekitar 500 remaja yang terdaftar dalam pelatihan. “Jumlah yang lebih besar dari saat saya pertama kali masuk. Saat itu baru, kami baru punya 100 orang saja. Selama ini kami memang menekankan pada program pemain muda.”
Tidak hanya itu. Stadion baru pun tengah dibangun. Mereka juga telah memiliki 20 liga yang diisi oleh berbagai kelompok umur dan berdasarkan kelamin. “Tadinya kami hanya punya tiga liga,” kata Green bersemangat.
Dalam beberapa bulan ke depan, mereka juga sudah memiliki jadwal untuk pertandingan persahabatan. Laga yang penting untuk mempersiapkan mereka menghadapi kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia kelak.
“Tentu tidak mudah. Tapi, sepertinya sepak bola bisa menjadi olahraga populer di negeri ini di kalangan anak muda. Selama ini, atletik, softball, dan bola basket menjadi olahraga yang populer,” katanya. Kepulauan ini memiliki seorang sprinter hebat yakni : Delano Williams – yang memenangi medali emas nomor 200 meter di Kejuaraan Dunia Junior pada 2012 lalu. Kini Williams membela Inggris Raya.
Namun Green tak mau muluk-muluk dengan cita-citanya. Satu hal yang pasti, peringkat negerinya bisa beranjak dari dasar sudah menjadi sebuah kebanggaan bagi dia. Hasil itu cukup untuk mereka rayakan. :)
follow @ngiknguks
No comments:
Post a Comment