Gerakannya sungguh istimewa. Gocekannya sempurna. Dribel-nya
bagus, bola pun seolah enggan pergi dari kedua kakinya. Tak heran bila mata
lelaki dewasa itu yang tengah berada di komunitas Footytotz, tak mau berpaling
darinya.
Ternyata mereka adalah pemandu bakat dari Manchester United. Bisik-bisik di antara mereka pun menghasilkan keputusan.
Anak itu harus mereka bawa untuk dilatih bersama klubnya.
Setelah menunggu dua tahun, barulah Charlie Jackson – nama
anak ajaib itu bisa mereka latih bersama anak-anak yang usianya lebih tua
darinya. Akademi sepak bola Setan Merah memang mensyaratkan usia paling muda,
adalah lima tahun.
Sepak bola memang bukan lagi sekadar olahraga melainkan juga
bisnis. Klub-klub besar kini makin rakus berburu bibit pemain, kalau bisa
semuda mungkin untuk mereka rekrut. Membeli bahan mentah seperti ini jauh lebihmenguntungkan ketimbang pemain yang sudah jadi.
Insting atau naluri para pemandu bakat jarang keliru.
Beberapa dari mereka yang sudah tercium bakatnya di usia yang masih dini
belakangan hari memang menjelma menjadi pemain yang hebat.
Anak ajaib yang sebelumnya sukses adalah Jack Wilshere.
Pemain Arsenal ini mulai ditemukan bakatnya saat masih berusia 4 tahun. Ketika
itu dia tengah asyik menggoreng bola di lapangan dengan rumahnya di Hitchin, Herts.
Pada usia 9 tahun, dia bergabung di sekolah sepak bola
Arsenal. Agustus 2010, dia mulai bermain di tim inti klub itu yang kemudian
disusul masuk tim nasional Inggris pada usia 18 tahun.
Di Spanyol ada Cesc Fabregas. Pada usia 10 tahun, dia
terpilih dalam akademi sepak bola Barcelona. Teman seangkatannya antara
lain Lionel Messi dan Gerard Piqué.
Namun dia tidak bisa bersaing dengan pemain muda lainnya. Sehingga pada usia 16
tahun, dia memutuskan untuk hengkang ke Arsenal.
Eh, di sana dia malah berkilau. Bahkan dia pun diangkat
menjadi kapten. Pada musim panas lalu, dia kembali ke kampung halamannya dengan
nilai transfer 29 juta poundsterling.
Bintang ajaib lainnya adalah Joe Cole. Bakatnya yang luar
biasa membuat Manchester United sampai menetes air liurnya untuk mendapatkannya
dari West Ham. Harganya, 10 juta poundsterling. Padahal, saat itu usianya baru
16. Kini, setelah membela Inggris sebanyak 56 tahun, memenangi tiga gelar
Premier League dan Piala FA bersama Chelsea, dia pindah ke Liverpool dan
sekarang berstatus sebagai pemain pinjaman di Lille, Prancis.
Bila Cole hampir redup di usianya yang ke 30, sebaliknya
Scott Parker malah bersinar di usianya yang tidak muda. Padahal, dia tergolong
anak ajaib.
Pada pergelaran Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, Scott
Parker menunjukkan kemampuannya mengolah bola alias juggling dalam iklan
McDonald. Usianya masih 13 tahun saat itu.
Toh begitu untuk sampai masuk ke tim nasional Inggris, dia
butuh waktu lama. Setelah hilir mudik di berbagai klub seperti Charlton, Chelsea, Newcastle, West Ham dan
terakhir di Tottenham Hotspurs barulah dia dilirik Fabio Capello. Usianya sudah
tidak muda lagi, 31 tahun.
***
Namun begitu anak ajaib yang kurang beruntung juga tidak
sedikit jumlahnya. Kane Jackson adalah salah satunya. Pada usia 6 tahun, bakatnya
membuat mata legenda Manchester United
George Best melotot. Tak sampai seminggu, Kane sudah memiliki agen,
pengacara, dan kontrak dengan sponsor perusahaan Hi-Tec. Kaki-kakinya seperti
sudah menguasai dunia.
Tony Jackson, sang
ayah yang kini berusia 45 tahun, bercerita tentang anaknya yang banyak diminati
klub Inggris pada saat dia berusia 6 tahun. Salah satu klub menaksirnya dengan
nilai kontrak 10 ribu poundsterling.
Empat tahun berselang, klub lainnya menawarinya pindah
dengan bayaran hingga enam kali lipat.
Klub lainnya yang juga berminat adalah Leeds.
Ternyata semua itu berjalan terlalu cepat. Sejak usia 12
tahun, Kane tidak mau lagi melakukan apa-apa. Hal ini menghancurkan
keyakinannya. Semua janji-janjinya
terbang begitu saja.
Delapan tahun berselang, dia dikecewakan agennya. Dia pun
mundur dari sepak bola. Bertahun-tahun kemudian, dia menjalani pekerjaan
sebagai supir mobil boks perusahaan obat.
Pendapatannya selama setahun, 18 ribu poundsterling.
Berkaca pada pengalaman buruk yang terjadi pada anaknya,
Tony berharap karier Charlie Jackson bisa lebih terarah. “Bakat yang dimiliki itu harus dibina dengan
baik. Tapi semua itu tergantung bagaimana mereka bisa memupuk bakat anak itu,”
kata Kane Jackson.
Anak ajaib yang bernasib sial lainny adalah Ross Gardener.
Ross memang berbakat. Pada usia 9 tahun dia sudah bergabung dengan Newcastle United. “Saya teken kontrak dan
bekerja secara profesional pada usia 17 tahun. Ini sangat berarti bagi anak muda
seperti saya.”
Ross pergi dari Newcastle bergabung dengan Nottingham Forest
pada usia 18 tahun. Bakatnya pun membuat dia dipanggil tim nasional.
Dia merupakan salah satu pemain muda Inggris yang berbakat.
Caps-nya di tingkat junior terbilang lumayan, dia bermain sebanyak 25 membela
negerinya. Bahkan dia pernah satu tim dengan Wayne Rooney. Dia yang menyediakan
umpan-umpan dari lapangan tengah.
Namun cedera menghantamnya. Pada usia 26 tahun, dia tidak
lagi bermain sepak bola. Sayang, cedera
menghentikan segalanya. Akhirnya dia
pun hanya bisa berkiprah di liga klub semi profesional.
Karena penghasilannya kecil, pada 2007, Ross mencari
alternatif karier di perusahaan gas Inggris. Sambil bekerja, dia pun bermain
membela klub kecil Shildon FC, di Durham. “Sekarang saya bekerja sebagai
teknisi instalasi gas.”
Lain lagi yang dilakukan Jim Will yang semula memiliki
karier bersinar. Jim yang kini berusia 39 tahun, adalah penjaga gawang tim
nasional Skotlandia dalam Kejuaraan Dunia U-16. Penampilannya menjaga gawang
mampu mengantar negara ini ke final sebelum kalah lewat adu penalti di tangan
Arab Saudi.
Dalam turnamen itu ikut bermain pemain-pemain yang kelak
menjadi pemain kondang. Sebut saja Luis
Figo, Mark Schwarzer pemain Australia dan pemain Ghana Nii Lamptey.
Penampilannya itu kejuaraan itu dilirik Arsenal. Namun
sayang dia tidak pernah bisa masuk ke tim inti. Sebabnya, ketika itu Arsenal
masih memiliki kiper terbaiknya David Seaman.
Akhirnya, karena tak mendapat tempat, pada 1995 dia pun mundur dan
memilih berkarier di klub Dunfermline.
Sayang tak mendapat tempat di tim inti, dia pun memilih
untuk berhenti dari sepak bola dan menjadi pekerja di penjara. “Saya termasuk tidak bernasib bagus.”
Toh begitu, Jim tetap berada di lapangan dan bermain di klub
kampung Turriff United, kemudian ke Deveronvale. Belakangan dia pun benar-benar
mundur dari sepak bola dan menjadi petugas di kepolisian.
No comments:
Post a Comment