SOCRATES adalah bintang Brasil pada Piala Dunia 1982 dan
1986. Dia menjadi pemimpin permainan jogobonito yang sesungguhnya. Main cantik
tapi sayang Brasil tersingkir. Tapi, kiprahnya di dua turnamen
itu membuatnya termasuk gelandang terbaik yang pernah ada di dunia.
Penampilannya keren. Tingginya mencapai 193 sentimeter.
Dengan tinggi seperti itu, badannya tampaknya kurus. Kumis, jambang, dan
jenggot yang menggelayut di wajahnya mengingatkan pada filsuf Yunani,
Socrates.
Berbeda dengan kebanyakan pemain Brasil yang berasal dari
kalangan bawah, Socrates justru berhasil menamatkan pendidikannya, hingga
menjadi doktor. Dia pun sempat membuka praktek di sana.
Namun yang paling penting adalah sosoknya yang intelektual.
Dia fasih berbicara tentang gerakan kiri, filsafat, ekonomi, dan tentu saja
sepak bola. Setelah pensiun, dia kerap
menulis kolom sepak bola yang kadang dikaitkan dengan keadaan dunia. Salah
satunya dengan media di berbahasa Arab.
Buah dari kegiatannya itu, pada 1996, dia diundang untuk
sebuah perjalanan tur ke Mesir dan
Libya. Tanpa diduga, setibanya di Tripoli, dia diberi kabar Pemimpin Libya
Muamar al-Gaddafi ingin bertemu dengannya.
“Keren, ini pertemuan yang sangat fantastis,” kata Socrates
seperti yang diceritakan dalam buku Futebol, The Brazilian way of life.
Socrates pun mengiyakan. Lalu menanyakan waktu pertemuan
dengan Gaddafi. Tak ada yang tahu. “Kami
tidak tahu kapan persisnya. Tapi, kita akan pergi jam lima pagi,” kata orang
yang menghubunginya tersebut.
***
PADA saat yang telah ditentukan, mereka pun telah siap
berangkat. Namun, Socrates tersadar. Negeri itu masih dalam sanksi PBB. Tak ada
satu pun pesawat yang bisa masuk ke negeri itu. “Bagaimana bisa? Memangnya kita
punya pesawat?”
Socrates keliru. Gaddafi memiliki pesawat pribadi. Mereka
pun terbang. Katanya, pergi ke pusat pemerintahan Gaddafi berada. Setelah
sampai di tempat yang dituju, mereka melanjutkan perjalanan ke ke sebuah hotel.
Ternyata bukan di situ juga, mereka akan bertemu. Dari pagi
hingga sore, mereka menunggu. Namun tak ada kabar tentang kedatangannya.
Barulah pada jam 6 sore, kabar yang lama ditunggu itu
datang. “Ayo kita pergi.”
Hm… ternyata masih ada perjalanan. Socrates pun masuk ke
dalam Toyota Land Cruiser. Tak ada pekerjaan yang dilakukan sang sopir kecuali
mengemudi dan mengemudi. Malam pun datang, namun mobil itu tak juga sampai di
tempat tujuan.
Dari dalam mobil tak terlihat apa-apa, kecuali padang pasir.
Mobil berhenti di sebuah pintu gerbang. Rupanya ini adalah kamp. Tak ada lampu
di sana. Gelap gulita. Selama itu mereka diam di dalam mobil itu. Tanpa pernah
tahu apa yang akan kemudian terjadi. Dua puluh menit kemudian, barulah mereka dipersilakan
masuk ke tenda, tempat Gaddafi tinggal.
***
DALAM pertemuan itu, mereka pun berbincang-bincang selama
kurang lebih satu jam. Banyak yang mereka bicarakan. Namun Socrates tak mau
mengungkap secara rinci isi obrolan itu. Satu yang penting, dalam perbincangan
itu, Gaddafi menawarkan sebuah kejutan.
Apa itu? Adakah tawaran untuk menjadi pelatih tim nasional
Libya? Sepak bola di negeri ini terbilang terbelakang dibandingkan kawasan
Arika Utara lainnya. Prestasi paling pol adalah saat kualifikasi Piala Dunia
1986. Sayang, mereka tergusur setelah dikalahkan Maroko.
Lalu? Tawaran apakah?
“Dia meminta agar saya maju dalam pemilihan presiden Brasil.
Soal dana untuk kampanye, jangan khawatir dia akan mendukung saya
habis-habisan.”
Socrates kaget. “Dia
bilang akan mendukung. Karena dia mengaku telah mengetahui sikap dan pandangan
politik saya.”
Setelah kaget. Socrates pun tersenyum. Lalu dengan santun,
dia menolak tawaran yang disampaikan padanya.
***
MUAMMAR Gadaffi memandang sinis terhadap sepak bola. Pada
saat digelar perhelatan Piala Dunia 2006, di Jerman, dia mengkritik
penyelenggaraan yang menghabiskan triliunan rupiah. Menurut dia, uang sebesar
itu bisa dipakai untuk memerangi kelaparan di negara miskin. "FIFA telah menghidupkan kembali sistem
perbudakan dan perdagangan manusia dari Afrika dan Amerika Latin ke Eropa,”
katanya.
Uniknya, berbeda dengan ayahnya, Al-Saadi Khadafi, anak
ketiganya pernah menjadi kapten timnas Libya dan dia juga pernah bergabung dengan Perugia.
Karirnya tamat karena dia ketahuan doping.
Dia pun tercatat sebagai pemegang saham di Juventus, yang memiliki 7,5
persen.
Kini, Gadaffi dikabarkan tewas 20 Oktober, kemarin. Di
Sirte, kampung halamannya sendiri, diktator tertembak di bagian kepalanya oleh peluru pasukan Dewan Transisi Nasional Libya
(NTC) yang didukung NATO.
Socrates kini hidup bersama istri dan enam anaknya. Dia
masih produktif menulis kolom. Setelah, Agustus lalu, Socrates dikabarkan
dilarikan ke rumah sakit akibat sakit mengalami pendarahan lambung, dia
mengurangi konsumsi rokoknya. Socrates akan mengingat pertemuan dengan Gadaffi
lima belas tahun lalu, sebagai peristiwa yang fantatis.
Baca juga:
Gaya Takhayul Pepe Reina
Mereka Berfose Bugil untuk Klub
Messi Belum Layak Jadi Bintang
Tukang Cukur Pemain Barcelona
Baca juga:
Gaya Takhayul Pepe Reina
Mereka Berfose Bugil untuk Klub
Messi Belum Layak Jadi Bintang
Tukang Cukur Pemain Barcelona