29.4.12

Mundurnya Pep Seperti The Beatles Bubar, Semua Orang Berduka



Xavi hanya bisa menggigit jarinya, Gerard Pique melongo bengong,  dan Cesc Fabregas terdiam. Hanya Carles Puyol yang terlihat tegar dan menjawab pertanyaan wartawan yang menghampirinya, sejenak setelah konferensi pers itu bubar. Lionel Messi? Dia lebih memilih berada di rumah yang menyatakan isi perasaannya lewat akun sosial medianya. “Saya tahu ini akan menyedihkan, saya memilih untuk tidak datang,” kira-kira begitu kata Messi.

Konferensi pers ini memang tak biasa, murung, dan sangat menyedihkan. Pep Guardiola, manajer Barcelona, memutuskan mundur Jumat lalu. Rumor mundurnya Pep sudah tercium sebelum konferensi pers itu digelar. Tampilnya Pep di depan wartawan ini hanya sebagai pengumuman resmi saja. Alasan Pep dia hanya ingin istirahat.

Bendera setengah tiang berkibar di hati pencinta sepak bola di mana-mana. TSF, sebuah stasiun radio di Portugal, mengumumkan mundurnya Guardiola disambut dengan beragam komentar dari pendengarnya. Mereka menyatakan duka dan menyampaikan selamat jalan pada Pep. Sebuah anomali terjadi, jarang-jarang waktu pada saat jarum jam menunjukkan pukul 13.oo di sana, menjadi prime time. Semua orang di sana, tersedot perhatiannya pada Pep Guardiola.

Pep memang istimewa dari segi apa pun. Dalam angka statistik saja catatannya hebat: empat tahun berada di Camp Nou dia sudah memborong 13 gelar juara. Tiga kali La Liga, tiga Super Copa, sekali Copa del Rey, dua kali juara masing-masing Liga Champions, Super UEFA, dan FIFA antar klub. Jumlah yang melampaui yang pernah dibuat Johan Cruyff dengan Dream Team-nya.

Lebih jauh statistik yang dibuat adalah menang sebanyak 175 pertandingan, 46 kali draw, dan hanya kalah sebanyak 21 kali. Di tangan Pep, dia membuat klub ini sangat produktif dalam membuat gol. Perbandingannya, 618-178. Fantastis. “Guardiola tidak tergantikan. Dia telah membuat satu tim terbaik dalam sejarah,” tulis harian Ole di Argentina.

Kehebatan Guardiola adalah dalam meramu timnya. “Dia ingin menjadikan 11 orang dalam timnya bermain sebagai gelandang. Barcelona menjadi klub yang agresif,” tulis Massimo Cecchini di Harian La Gazzetta, Italia.  Menurut dia, wajah Barcelona tak beda dengan Tim Samba Brasil saat memenangi Piala Dunia 1970 di Meksiko.

Sepak bola yang penuh tak-tik atau yang kita kenal dengan tiki-taka membuat Barcelona, di tangan Pep, menjelma menjadi sebuah klub dengan penampilan paling enak dilihat. Satu yang tak pernah bisa ditampilkan dalam sejarah sepak bola selama 30 tahun terakhir.  Hal ini pula, yang memudahkan orang mengenali sepak bola sebelum dan sesudah Pep Guardiola memegang Barcelona.

Namun kini, Pep memilih menyelesaikan kerja-kerja indahnya. Dia pergi di saat orang memujanya, menginginkan terus sepak bola idaman semua orang. Kepergian Pep, nyatanya menjadi sebuah tragedi yang membuat semua orang tercekat kaget dan mencubit-cubit pipi untuk menyadarkan ini bukanlah mimpi.

Hanya satu yang bisa menandingi kesedihan ini yakni ketika The Beatles menyatakan bubar pada 1970. Tak satu pun orang yang bisa menghalangi pecahnya band yang membuat revolusi musik dunia. Tak ada juga orang yang bisa menahan air matanya untuk tidak menetes. Duka mereka, dan juga kita di sini, begitu dalam.