Saat ini tidak ada manajer di Liga Inggris yang segalau Roberto Mancini. Akumulasi kegalauannya mengantarnya ke puncak galau yang paling tinggi. Menjelang pertandingan nanti malam dengan Arsenal, rupa-rupa kegalauan langsung menggempurnya.
Pertama, dia galau bila Manchester United menang atas Queen Park Rangers. Lalu, selama pertandingan City melawan Arsenal di Emirates, dia pun dipeluk kegalauan. Kalaulah kalah dari pasukan Arsene Wenger, makin galaulah dia. “Saat itulah, City harus melupakan gelar juara dan merelakannya,” kata dia.
Puncak galaunya, karena gagal memberikan gelar pada musim ini, musim sebelumnya lumayan dia memberi gelar Piala FA, kontraknya yang akan berakhir Juni tahun depan bisa berakhir lebih cepat. Semua permintaan untuk mendatangkan pemain bagus macam Samir Nasri dan Kun Aguero ternyata tak bisa memberikan hasil gemilang.
Kalau mau jujur, kegalauan ini tidak muncul begitu saja. Semua berawal dari performa Manchester City yang bagus di awal namun masuk tahun baru, mereka kedodoran.
Banyak sebab, namun yang paling bisa digarisbawahi adalah soal kepemimpinannya sendiri terhadap para pemainnya. Pertama ulah Carlos Tevez yang melawannya. Carlitos ogah diturunkan saat melawan Bayern Muenchen di penyisihan Liga Champions. Belakangan setelah hengkang dari klub, Mancini memanggilnya kembali untuk main untuk City.
Sumber kegalauan lainnya tentu saja ulah Mario Balotelli. Seperti sepasang kekasih yang mencintai sekaligus membenci, Mancini berkali-kali dipusingkan oleh ulah si bengal itu. Namun lagi-lagi, dia kemudian memaafkannya.
Pertama sekali terjadi saat tur klub itu ke Amerika Serikat. Balotelli bermain tidak serius. Bola sudah di depan gawang, Balotelli malah menendangnya dengan gaya kuda. Bola gagal masuk. Mancini ngamuk menariknya dari lapangan karena Balotelli dianggap tidak dewasa.
Belakangan makin menjadi. Sampai-sampai Mancini menyatakan kekesalan. “Kalau saya masih jadi pemain, Mario sudah saya pukul.” Sebelumnya, dia berkali-kali mengancam untuk menendang Balotelli karena kebiasaan merokoknya. Anehnya, setelah itu Mancini luluh lagi dan memasangnya di lapangan.
Sikapnya yang galau terhadap dua pemainnya yang bengal adalah rangkaian yang menuntunnya ke arah kegalauan yang selanjutnya, yang membuatnya dia menjadi manajer paling galau di Liga Inggris.