Sebagian dari mereka akhirnya terdampar di Bari, Italia. Bari yang terletak di Tenggara Italia, merupakan kota pelabuhan yang ramai dan mudah dicapai. Sejak lama, kawasan ini menjadi tujuan para migran terutama dari Afrika Utara.
Pada Oktober 2009, sekitar 4o imigran dari Somalia, yang kemudian menjadi gelandangan di kota itu dikumpulkan di sebuah hotel kosong di kota ini. Tempat ini kemudian menjadi tempat pertemuan para imigran, yang sudah lama tinggal di sana, atau pun yang baru datang.
Di sana pula mereka saling bertukaran informasi tentang apa saja, mulai dari pekerjaan, tempat tinggal, dan juga ternyata sepak bola. Permainan ini ternyata bisa menjadi jembatan bagi mereka. Di lapangan mereka justru saling mengenal.
Adalah Nabil Erjali, 29 tahun, imigran asal Maroko ini punya inisiatif untuk membuat sebuah klub. Anggotanya siapa saja, asalkan mereka adalah imigran. Dalam klub ini, selain menjadi pemain dia juga adalah presiden klub yang bernama Al Amal Stella Rossa Bari FC.
Pendirian klub ini adalah buah dari turnamen sepak bola di kota itu. Mereka mengusung slogan Ama il calcio, odia il razzismo yang kira-kira Cinta Sepak Bola, Benci Rasisme.
Klub sepak bola ini, karena niatnya mulia yakni mengentaskan rasisme, pemerintah lokal di Puglia, memberikan bantuan uang sebesar 25 ribu euro atau sekitar Rp 250 juta.
Setelah semuanya siap, mereka pun bertanding di liga lokal di kota itu. Hasilnya, tidak mudah ternyata, di liga itu mereka belum pernah menang dan berada di dasar klasemen.
Klub sejenis Al Amal Stella Rossa tidak saja ada di Bari. Di Napoli, kota yang riuh dengan sepak bola juga ada klub dengan pemain impornya. Bedanya, di sini kebanyakan pemainnya berasal dari Afrika. Namanya, Afro-Napoli United.
Antonio Gargiulo, sang pendiri adalah seorang akuntan. Kesehariannya bertemu dengan anak-anak muda dari Afrika memberikan ide untuk mendirikan sebuah klub sepak bola. “Saya ingin tidak ada lagi batas antara Italia dan para migran,” katanya.
Gargiulo, yang memang gila bola, melihat sepak bola adalah wadah yang cocok untuk itu. Bagaimana pun, kata dia, setiap anak di Italia bermimpi menjadi pemain sepak bola, “saya kira begitu juga dengan anak-anak dari Afrika.”
Akhirnya, setelah sekian lama bermain sepak bola dengan anak-anak dari Afrika itu, pada 2009, dia pun membentuk klub Afro-Napoli. Pemainnya terdiri dari 10 pemain migran dari Senegal, Pantai Gading, Tunisia, Tanzania, dan Nigeria. “Sepuluh orang lagi dari Napoli.” .
Prestasi mereka lebih bagus dari Stella Rossa, klub yang diisi pemain muda mampu berbicara lebih baik. Klub yang didirikan tahun silam kini berada di papan tengah klasemen liga amatir.
Begitu juga dengan klub Liberi Nantes, yang bermarkas di distrik Pietralata, Roma, berdiri pada 2007. Saat ini bermain di divisi liga amatir.
Di Bergamo beda lagi. Di kota ini, tiap tahunnya yakni di bulan Mei dan Juni, para imigran berkumpul dan membentuk tim berdasarkan asal mereka. Tim-tim inilah yang membela negara masing-masing untuk berlaga di Piala Dunia Mini. Nama turnamen itu, Bergamondo.
Meski dibayang-bayangi sikap rasisme dari kelompok anti orang di sana, toh turnamen ini berlangsung sukses. Pesertanya mencapai 19 tim. Mereka mewakili negara, di antaranya Albania, Argentina, Bolivia, Brazil, Burkina Faso, dan Colombia. Keluar sebagai juara adalah Senegal yang mengalahkan Pantai Gading, 3-0.
Setelah turnamen usai, seperti hanya di Bari, dipastikan akan bermunculan klub-klub imigran di sana. Walaupun ternyata membangun dan mengelola tim sepak bola tidaklah mudah.
Mereka tetap dihadapkan pada persoalan klasik yakni dana. Itu sebabnya, mereka hingga kini mulai mencari sistem pendanaan untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka mencari pihak-pihak yang mau menjadi sponsor.
Hal ini tentu saja penting untuk langkah mereka ke depan yang mereka cita-citakan yakni tampil di liga semi profesional. Langkah yang harus ditempuh dengan perjalanan panjang, memang.
Sumber pendanaan bisa datang dari masa lalu. Orang-orang Italia yang kini hidup mapan banyak juga seperti mereka, pergi ke Italia untuk memperbaiki hidup.
Kalau diurut lagi ke leluhurnya, bisa jadi mereka datang dari negeri yang sama dengan para imigran ini. Kucuran dana dipastikan akan datang dari kantong mereka.
Toh mereka para pemain tim ini tetap memiliki semangat membara. Setidaknya, dua kali dalam seminggu mereka berlatih bersama.
1 comment:
Canggih eui, imigran yang kreatif dan bersemangat, salut sama NGIKNGUKS, selalu menyajikan artikel sepakbola yang unik, yang berbeda daripada media sepakbola mainstream lainnya, semoga semakin berjaya bung. Salut.
Post a Comment