23.10.11

Siapa Bilang Sepak Bola Bahasa Universal?

DALAM pengakuan terakhirnya, di depan para pemeriksanya, Carlos Tevez menceritakan kembali peristiwa yang terjadi dalam pertandingan Liga Champions di Muenchen. Peristiwa inilah yang membuat heboh jagat sepak bola dunia.


Saat itu, Manchester City sudah ketinggalan dua gol. Manajer City, Roberto Mancini meminta Tevez agar masuk ke lapangan. Namun, yang terjadi, menurut Mancini, Tevez bintang asal Argentina itu menolak untuk bermain.



Mancini marah besar. Layaknya prajurit, pemain yang ada di bangku cadangan harus menerima perintah dari manajer. Kepada pers, Mancini berkoar tentang penolakan itu. Ganjarannya pun lekas saja. Tevez diskor selama dua pekan. Dia pun tidak diizinkan untuk ikut berlatih. Tevez pun terancam kena denda 1 juta pound.


Namun apa yang sebenarnya terjadi? Dalam pembelaannya, Tevez mengatakan dia tidak menolak bermain seperti yang dituduhkan Mancini.  Dia hanya menolak kembali menjalani pemanasan karena merasa sudah cukup melakukannya.


Pihak City menerima alasan itu.  Tapi, mereka belum bisa membuat keputusan apa pun karena harus mendalami dan melakukan penyelidikan lebih lanjut.


***


SEBELUM musim bergulir, Tevez sudah berulah. Dia merengek untuk pindah dari klub itu. Alasannya, dia mengaku tidak cocok dengan gaya hidup di kota itu dan ingin tinggal bersama keluarganya di Argentina. Klub-klub pun menetes air liurnya. Menjelang musim berputar isu itu pun reda. Tevez kembali ke Eastland. Mancini senang.


Roberto Mancini, bukan sekali ini saja bermasalah dengan pemainnya. Dalam tur pra musim ke Amerika Serikat, dia gondok setengah mati dengan kelakuan Mario Balottelli. Pemain yang dibawanya dari Inter Milan itu, menurut dia masih berlaku kekanak-kanakan saat membuang bola yang semestinya tinggal diceploskan ke gawang lawan.


Mancini marah besar. Dia memasukkan David Milner. Saat pergantian pemain itu, dia pun perang mulut di pinggir lapangan. Di saat lain, lagi-lagi Balottelli berulah. Dia menikmati pemutar musik di bangku cadangan. Padahal di klub mana pun, pemain yang berada di bench, seharusnya tidak membawa gadget apa pun. Mancini tidak banyak bicara.


***


BERADA di stadion yang dipenuhi puluhan ribu orang. Suara yang bising ditambah dengan ketinggalan, menjadi sebab emosi membubung tinggi. Kata-kata apa pun bisa menjadi penyulut kemarahan. Menilik kembali pengakuan Tevez, tidak mustahil yang terjadi di Munich, semata memang miss communication. Semua bermuara pada masalah bahasa.


Carlos Tevez, pergi ke Inggris lima tahun silam. Bersama Javier Mascherano, dia bergabung dengan West Ham. Setelah itu dia menclok ke Manchester United kemudian ke seterunya, Manchester City. Nah, di Jerman itu, dia berbicara dalam bahasa Inggris. Sayang, biar pun tinggal lima tahun di sana, dia belum fasih betul berbicara dalam bahasa Inggris.


Sedangkan Mancini, yang dua musim berada di Manchester juga belum bagus berbicara dalam bahasa Inggris. Penerjemah, juga manusia, apa pun bisa terjadi. Itu yang terjadi di area bench di Stadion Olimpic, Muenchen.


Soal bahasa menjadi masalah pelik dalam sepak bola. Ian Rush, penyerang Liverpool di era 1980-an, tak berkutik saat bermain untuk Juventus Italia. Sebabnya? Dia tidak bisa berbahasa Italia.


Juan de Ramos, pelatih yang sukses membawa Sevilla menjuarai UEFA Cup tak bisa berbuat banyak saat menangani Tottenham Hotspurs. Sehari-hari dia hanya berbicara dalam bahasa Spanyol. Kemampuan berbahasa Inggrisnya pun tak juga bertambah.


Sama juga dengan Luiz Felipe Scolari. Manager yang sukses memegang Brasil menjadi juara dunia 2002 dan mengantar Portugal menjadi runner up Piala Eropa 2004 tapi tak bisa berbuat apa-apa ketika menjadi manajer Chelsea.


Steve McClaren punya pengalaman yang unik. Dia harus bekerja keras selama menangani Wolfsburg di Jerman, Tapi saat berada di Jerman, menangani Wolfsburg, dia harus bekerja keras.  Padahal saat bekerja di Twente, Belanda, selama dua musim dia mampu menghasilkan hasil yang lumayan.  Sebabnya, penduduk Belanda memang berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, Jerman tidak.


Fabio Cappelo, Arsene Wenger, Rafael Benitez, Guus Hiddink adalah sederet manajer yang sukses. Bukan semata karena taktiknya di lapangan tapi juga mereka mampu berkomunikasi dengan baik dengan tim, terutama para pemainnya. Mereka tidak memerlukan jasa penerjemah di sampingnya.


***
Jargon sepak bola adalah bahasa universal tidaklah sepenuhnya benar. Untuk beberapa hal, mungkin iya. Saat di lapangan, hanya butuh gesture alias gerak tubuh atau kata-kata singkat. Namun sepak bola ternyata bukanlah hanya memerlukan bahasa tubuh dan teriakan singkat.


Sepak bola modern dibangun dengan taktik dan strategi yang tepat. Jembatan untuk itu semua adalah komunikasi yang mudah dipahami oleh para pelakunya di lapangan. Komunikasilah yang menghilangkan halangan atau barier yang terjadi saat bola diperebutkan dua tim di lapangan.


Sepak bola modern kian penuh dengan hiruk pikuk. Selain nilai ekonomi yang kadang sulit diterima dengan akal sehat, juga karena manusia yang hidup di sana tidak lagi berasal dari satu bangsa yang berbicara dalam satu bahasa.


Halangan berkomunikasi yang terjadi antara Tevez dengan Mancini atau siapa pun, semestinya tidak lagi terjadi.  Karena,  di dalam sepak bola tidak ada bahasa universal – yang dapat dipahami semua orang.




Baca juga:
Ferguson Menyuruh Pemainnya Mogok
Kenangan Socrates dengan Muamar Gaddafi
Messi Belum Layak Jadi Bintang