17.10.11

Mainkan Kakimu, Kunci Mulutmu

TUMBEN banget Patrice Evra  sebegitu sewotnya. Padahal, biasanya dia tergolong pemain yang kalem. Jarang marah, sekalipun kakinya disabet. Namun siang itu, di Stadion Anfield, meski di lengan kirinya terlilit ban kapten, kemarahannya begitu meledak. Dia mendorong Luiz Suarez, penyerang Liverpool yang terus dipepetnya. Akibatnya, gara-gara tak bisa menahan emosinya itu, dia diganjar kartu kuning. 

Belakangan, setelah skor akhir mencatat angka 1-1, Evra – yang berkulit hitam itu buka suara perihal kelakuannya yang di luar kebiasaannya itu. 


Suarez tak asing lagi dengan kontroversi. Ingat pada Piala Dunia 2010, striker Uruguay ini menahan laju ke gawang dengan tangannya. Sayang, Ghana gagal menamatkan bonus penalti yang didapatnya.  Saat masih bermain di Ajax, dia pernah dihukum tidak boleh bertanding selama tujuh pertandingan gara-gara menggigit punggung Otman Bakkal, pemain PSV Eindhoven.  

Tapi kali ini ternyata bukan soal fisik. Menurut Evra, mulut Suarez yang berulah. Katanya lebih dari sepuluh kali dia mengucapkan kata-kata rasis. Negro, sebuah kata yang bikin panas kuping orang hitam di mana pun. 

Luis Suarez tentu saja membantah tudingan itu. Kata Suarez, dia sama sekali tidak melakukan seperti yang dituduhkan Evra.  Melalui akun facebooknya, Suarez  mengaku kesal dengan ucapan Evra. "Aku hanya bisa bilang, aku selalu menghormati dan menghargai orang. Kita semua sama," tulisnya.  Suarez melanjutkan, setiap berada di lapangan dia hanya ingin menikmati permainan bukan berkonflik.  

Soal siapa yang benar, belum bisa dibuktikan. Tapi ungkapan Evra tentu saja mengejutkan. Sepak bola Inggris dikenal sebagai liga yang paling maju dalam hal menggerus soal rasisme, lha kok kini muncul cemooh purba itu. 

Kasus rasisme belakangan meruyak kembali. Sebelumnya, yang fenomenal tandukan Zinedine Zidane di final Piala Dunia 2006. Zidane, maestro sepak bola Prancis, yang juga seperti Evra punya stok kesabaran yang penuh tak kuasa dengan tindakan Materazi, yang mengeluarkan kata-kata rasis.

Paling gres. Beberapa waktu lalu, saat bermain di lapangan, bintang Brasil Roberto Carlos yang kini bermain di Rusia mendapatkan perlakuan yang sangat tidak enak. Saat berada di lapangan, tiba-tiba dia dilempari pisang. Tidak hanya sekali, tapi juga berulang beberapa pekan berikutnya. 

Cuma pisang memang. Tapi siapa pun paham itu adalah bentuk rasisme yang sangat kasar. Pisang adalah makanan favorit bagi kera. Bentuk rasisme lainnya adalah tiruan suara kera pada saat pemain berkulit hitam menguasai bola. Yang paling terang-terangan adalah kata-kata yang diucapkan supporter pada pemain berkulit hitam. Persis, kalau benar yang dikata Evra, seperti yang dilakukan Suarez.

***

RASISME bukanlah barang baru di lapangan sepak bola. Di Inggris sendiri, itu berlangsung sejak sepak bola modern dipertandingkan. Ini anehnya, pada 1881, Andrew Watson, pemain berkulit hitam sudah wara-wiri di Liga Inggris. Namun nyatanya, kehadiran pemain hitam lainnya tidak begitu saja diterima. 

Kiper Arthur Wharton yang bermain untuk Preston North End diberondong sikap tak suka dari banyak orang. Itu terlihat dari sebuah artikel di sana, yang menyebut-nyebut soal kulitnya yang hitam. Keadaan ini tak juga berubah. Malah makin menjadi-jadi. 

Pada 1920-an, William Dean yang separuh darinya berasal dari Afrika tak henti-hentinya menjadi bahan olok-olok. Dia bahkan dipanggil Dixie Dean, mengacu pada kulitnya yang legam dan rambutnya yang keriting. Suatu ketika, dia  kesabarannya pun hilang.  

Pada sebuah pertandingan pada 1938, seorang penonton meneriakinya dengan kata-kata rasis. : "We will get you yet, you black bastard," teriak si penonton. Dean lantas panas. Dia mengejar penonton itu dan crooots, tinjunya mengarah persis di wajah penonton itu. Mungkin tak beda dengan yang dilakukan Eric Cantona saat melayangkan tendangan kungfunya. Polisi segera menangkapnya.  

Zaman makin modern. Kesetaraan yang menjadi panglima tak jua mengusirnya dari lapangan. Selalu saja ada kasus-kasus serupa dari waktu ke waktu. Terutama setelah  ekspansi para pemain Afrika ke berbagai penjuru dunia, yang dimulai sejak 1990-an.  

Namun sebenarnya rasisme bukanlah semata jadi persoalan orang hitam tapi berlaku bagi siapa pun. Orang Asia bahkan juga kalangan antisemit. Siapa pun bisa dikatai atau dilempari buah-buahan.

***

SEBENARNYA Federasi Sepak Bola Dunia alias FIFA sudah mengeluarkan banyak sanksi berat. Di antaranya denda yang mahal sampai pada pembekuan organisasi, toh tidak mengubah apa pun. Lidah memang tidak bertulang, kata pepatah lama, ucapan berbau rasis tidak bisa dielakkan.

Kampanye mengenyahkan rasisme di lapangan pun dimulai. Pada 1997, slogan kick out racism mulai dipopulerkan. Tidak hanya itu, lembaga ini pun membuat standarisasi dari perlawanan rasisme ini. Intinya, sikap dan perlakukan dari pengelola klub dan supporter. Juga bagaimana pengelola klub memberikan akses pada penonton. 

Dari tiga hal itulah, mereka menetapkan kategori pengelola klub dalam berbagai tingkatan. Di antaranya yang masih longgar terhadap rasisme hingga yang dianggap sudah mumpuni dan menghargai kesetaraan. Kebanyakan klub Liga Primer telah memenuhi standar kesetaraan. 

Lantas apa sebab rasisme masih terjadi di sana-sini?  Persoalannya adalah bermain sepak bola juga tidak sekadar memainkan kaki tapi juga pintar-pintar menjaga mulut. Dalam keadaan emosi dan tekanan yang tinggi, terkadang lidah pun tak terkontrol. Saat itulah, kata-kata berbau rasisme seringkali meletus tanpa terkendali. 


BACA JUGA: